Asal Usul Papeda

                Dari mana asal makanan papeda? – Papeda merupakan makanan khas Papua, Maluku, dan beberapa daerah di Sulawesi. Makanan ini berbahan dasar sagu, teksturnya mirip lem atau gel berwarna putih bening. Dalam bahasa Inanwatan atau bahasa Papua, papeda disebut juga dengan dao.

                Sagu adalah tepung yang didapat dari batang pohon sagu atau Metroxylon sagu rottb yang bentuk pohonnya menyerupai pohon palma. Pohon sagu tumbuh di tepian sungai atau wilayah lain dengan kadar air yang cukup tinggi seperti rawa. Tinggi pohon sagu mencapai 30 m. Sagu menghasilkan beberapa produk makanan seperti sagu lempeng, sagu bakar kelapa, dan sagu bakar apatar.

                Rasanya tawar, cocok disajikan dengan ikan tongkol yang dibumbui dengan kunyit atau bersama dengan kuah kuning. Kadang dinikmati dengan sayur yang diolah dari daun melinjo muda atau disebut juga sayur ganemo. Papeda sering dihidangkan saat ada acara-acara penting di Papua, Maluku, dan sekitarnya.

                Dibalik kelezatannya, papeda menyimpan riwayat sejarah. Papeda dikenal luas dalam tradisi masyarakat adat Sentani dan Abrab di Danau Sentani dan Arso, serta Manokwari. Masyarakat adat Papua sangat menghormati sagu lebih dari sekadar makanan. Beberapa suku di Papua mengenal mitologi sagu dengan kisah penjelmaan manusia.

                Di Raja Ampat, sagu dianggap sebagai sesuatu yang sangat istimewa. Oleh karena itu, saat memanen sagu, kerap digelar upacara khusus sebagai rasa syukur dan penghormatan akan hasil panen sagu yang melimpah.

                Makanan ini juga dihidangkan pada upacara adat Papua, Watani Kame. Upacara ini dilakukan sebagai tanda berakhirnya siklus kematian seseorang. Nantinya, papeda dibagikan paling banyak untuk relasi yang sangat membantu pada upacara tersebut.

                Di Pulau Seram, Maluku, Suku Nuaulu mengonsumsi papeda atau sonar monne. Makanan ini disakralkan dalam ritual perayaan masa pubertas seorang gadis. Suku Nuaulu dan Suku Huaulu melarang wanita haid memasak papeda, karena menurut mereka proses merebus sagu menjadi papeda dianggap tabu.

                Proses mengolah sagu menjadi bubur papeda membutuhkan perkakas belanga. Lalu, saat air mendidih dituangkan ke dalam saripati sagu sambil diaduk hingga mengental dan terjadi perubahan warna, dari putih menjadi bening keabu-abuan. Pengadukan dalam proses ini harus searah hingga takstur benar-benar merata menjadi bubur lem.

                Cara mengambil dan menyantap papeda cukup unik yaitu menggunakan sepasang sumpit atau dua garpu. Caranya dengan menggulung-gulung hingga bubur papeda melingkari sumpit atau garpu, lalu diletakkan di piring dan siap disantap bersama ikan kuah kuning. Saat mengonsumsi papeda, tak perlu dikunyah, dapat langsung diseruput dan ditelan. Biasa dikonsumsi dengan lauk ikan dan sambal colo-colo.

                Dari sisi nutrisi, ternyata papeda memiliki banyak manfaat yang baik bagi tubuh. Kaya akan serat dan rendah kolesterol, mengandung nutria esensial seperti protein, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, dll. Rutin mengonsumsi papeda, dapat meningkatkan kekebalan tubuh, mengurangi risiko kanker usus, mampu mengatasi sakit pada ulu hati, perut kembung, mengurangi risiko kegemukan, memperlancar pencernaan, hingga membersihkan paru-paru.

Pernah mencicipi papeda? Kalau bepergian ke Maluku, Papua, atau beberapa daerah di Sulawesi jangan lupa untuk mencicipi makanan khas ini. Yuk lestarikan kuliner Indonesia. Semoga artikel ini bermanfaat.

Referensi:

IndonesiaGo, Kumparan, Phinemo

Share this Post

Share