Liwetan, dari Tradisi hingga Tren

            Ada yang masih suka liwetan? - Liwetan dulu hanya dilakukan saat ada acara tasyakuran atau peringatan momen tertentu yang dianggap sakral bagi masyarakat. Liwetan adalah kegiatan makan bersama dengan beralaskan daun pisang sebagai pengganti piring. Kata liwetan diambil dari nasi yang disajikan umumnya nasi liwet Sunda. Tetapi, nasi liwet dan tradisi liwetan sebenarnya bermula di Solo pada ratusan tahun silam. Awalnya, dipakai untuk raja-raja jika ada upaca, jamuan. Beberapa daerah di Indonesia juga punya tradisi bersantap seperti liwetan ini, namun dengan nama yang berbeda.

            Dilansir dari Tribunnews, tradisi makan nasi liwetan dimulai ketika pengaruh agama Islam masuk ke Pulau Jawa. Kegiatan ini dilakukan hampir di semua pesantren pada masa itu. Karena muncul di Pulau Jawa, liwetan ini tak bisa lepas dari tradisi Jawa dan agama Islam. Seperti, saat Maulid Nabi atau peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, masyarakat Jawa rutin mengelar tradisi slametan atau kenduri. Pada acara inilah biasanya nasi liwetan disajikan.

Makna dibalik tradisi liwetan yaitu adanya kebersamaan dan persaudaraan. Dimana orang menyantap nasi liwet dan lauk-pauknya bersama-sama menggunakan tangan, tanpa memandang status sosial atau derajat orang lain. Entah itu pejabat atau rakyat biasa, semua orang menyatu dan duduk bersama menikmati hidangan.

Belakangan ini, gaya bersantap ala liwetan menjadi tran di pelaku industri kuliner. Mereka membawa gaya bersantap tradisional ini ke satu tingkat lebih tinggi, yakni bertempat di restoran mewah nan modern. Liwetan diadakan di acara-acara istimewa seperti, arisan, ulang tahun, dll. Dulu hanya ada di tasyakuran, sekarang juga ada di restoran~

Menu yang disajikan mungkin tak jauh berbeda antara nasi liwetan dulu dengan sekarang. Namun, dari segi penataan, nasi liwetan masa kini lebih terlihat rapi dan cantik ketika disajikan, sehingga lebih instagramable. Menunya juga semakin beragam. Ada lauk goreng (ikan, ayam, bebek, cumi, udang, ikan asin, tahu, tempe), sayur (urap, tumis leunca-oncom, sayur asem, karedok, cah kangkung), menu olahan (pepes ikan, tempe kecap, telur balado, dll) lalapan, sambal, kerupuk, dan nasi liwet. Bahkan, masing-masing restoran memiliki menu andalan sendiri.

Tren seperti inilah yang harus dijaga terus-menerus hingga anak dan cucu kita nanti. Jangan sampai tradisi nenek moyang yang kaya akan makna menjadi hilang terkikis dengan kemajuan zaman yang semakin modern.

Referensi:

Viva , Kompas , Inovasee

 

Share this Post

Share